Thursday, December 22, 2011

Limit IP Otomatis Queue Tree Dengan Script

Read More

Sunday, October 23, 2011

My Link

Favorites Links

Convert Coordinates

  1. Convert Between Geographic and UTM Coordinates
  2. Geographic/UTM Coordinate Converter



xxxxx



xxxxxxx



xxxxxxx



xxxxx
Read More

Monday, September 19, 2011

How to colorize your log files with CCZE

Read More

Friday, August 19, 2011

Mengapa Jepang Menyerah? Sebuah Rekonstruksi Sejarah

Saat masih SD, saya diajarkan bahwa Kekaisaran Jepang menyerah kalah kepada Sekutu dalam Perang Dunia II setelah "cahaya seterang seribu matahari"1 meledak di Hiroshima dan Nagasaki. Lawan yang begitu teguh dan tangguh, yang menolak menyerah meskipun sudah semakin terpojok, dengan mudah ditundukkan lewat ledakan dahsyat yang memusnahkan ratusan ribu nyawa dan dua kota industri besar, dan juga menyisakan radiasi kejam yang merusak genetik keturunan kota tersebut untuk selanjutnya. Sejarah seolah berusaha memberitahu kita, bahwa deterensi2 nuklir merupakan cara yang efektif untuk menyelesaikan konflik, dan maka keberadaan senjata nuklir sepatutnya diperbolehkan.


Bom Atom di Hiroshima (kiri) dan Nagasaki (kanan). Gambar diambil dari Angkatan Darat Amerika Serikat

Itulah yang selama ini dipahami. Akan tetapi, sejarah itu relatif dan selalu menyisakan ruang untuk rekonstruksi. Pemahaman yang sudah ada pun digugat agar kita memperoleh perspektif yang lebih kaya dan tepat. Adalah Tsuyoshi Hasegawa, seorang sejarawan dari University of California, Santa Barbara, yang melakukan gugatan tersebut.

Setelah serangan mendadak ke Pearl Harbor pada 7 Desember 1941, Jepang dengan sangat cepat menguasai Malaya, Singapura, Borneo Utara, Burma, Hindia Belanda, Filipina, dan Nugini. Alur perang baru berbalik setelah kekalahan Jepang di Pertempuran Midway pada 4-7 Juni 1942. Perlahan-lahan Jepang mulai terusir dari pulau-pulau di Pasifik, hingga akhirnya pada tahun 1945 Jepang telah terpojok. Saat itu sudah tampak jelas bahwa Jepang akan kalah, namun mereka tak kunjung menyerah, sampai AS harus menyiapkan serangan besar-besaran yang dijuluki Operasi Downfall.

Menurut Hasegawa, pemimpin Jepang saat itu sudah tahu bahwa mereka akan kalah. Apa yang mereka upayakan adalah mempertahankan wilayah, menghindari pengadilan kejahatan perang, dan mengamankan sistem kekaisaran. Mereka juga mencoba memanfaatkan Uni Soviet yang saat itu masih netral di Asia sebagai mediator dengan Amerika Serikat. Wilayah di Asia bisa ditawarkan sebagai gantinya.

Pada 6 Agustus, "cahaya seterang seribu matahari" dijatuhkan oleh pesawat Enola Gay di Hiroshima. Hasegawa dalam bukunya "Racing the Enemy" menyatakan bahwa pemimpin Jepang tidak panik akan itu. Sebagai tanggapan, Menteri Luar Negeri Shigenori Togo pada tanggal 7 Agustus mengirim telegram ke duta besar di Moskwa yang memerintahkan permintaan mediasi kepada Uni Soviet. Sayangnya, harapan tersebut pupus sudah. Pada 9 Agustus, Soviet menyatakan perang kepada Jepang dan langsung menyerbu Manchukuo, negara boneka Jepang di Manchuria. Tentu saja ini berbahaya, karena jika Jepang diduduki oleh negara komunis tersebut, sistem kekaisaran tradisional Jepang tidak akan bertahan. Maka lebih baik menyerah kepada Washington daripada Moskwa. Akhirnya pada 15 Agustus Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.



Peta serangan Soviet ke Manchuria. Gambar diambil dari Pemerintah Rusia

Ternyata serangan mendadak Soviet-lah yang menyebabkan Jepang menyerah. Maka apa peran pengeboman atom dalam perang ini? Menurut Hasegawa, bom itu hanya membuat Shigenori Togo langsung mengirim pesan ke Moskwa. Jepang tidak langsung menyerah karena itu. Memang korban bom atom itu sangat besar, namun nyatanya serangan terhadap penduduk tidak membuat Jepang menyerah. Sebelumnya, pada awal Maret, beberapa pesawat pengebom B-29 Super Fortress melancarkan kampanye pemboman di Tokyo. Korban kebakaran yang diakibatkan bom tersebut dikatakan lebih besar daripada di Hiroshima. Bahkan,menurut artikel International Security pada tahun 2007, enam puluh kota di Jepang telah hancur pada saat Hiroshima diserang. Hasegawa mengatakan, jika Jepang tidak menyerah karena Tokyo, maka mereka juga tidak akan menyerah karena Hiroshima.

Itulah rekonstruksi sejarah yang telah dilakukan oleh Hasegawa, yang sekaligus mendamaikan sudut pandang yang bertentangan antara Jepang, Soviet, dan AS. Rekonstruksi tersebut juga memberikan kita pelajaran, bahwa ternyata penghancuran pusat penduduk tidak membuat suatu negara langsung menyerah. Pada Februari 1945, Sekutu mengebom Dresden. Korban jiwa berjatuhan, tetapi Jerman tidak menyerah. Begitu pula, saat Hitler mengebom London, Winston Churchill menolak mengibarkan bendera putih.

Deterensi nuklir pun terbukti tidak bisa mendamaikan dunia, justru malah berbahaya, apalagi jika kedua negara sama-sama punya senjata nuklir. Jika tidak berhati-hati, skenario "musim dingin nuklir" bisa terjadi, dan korban jiwa akan berjatuhan akibat kekurangan pangan, kedinginan, dan radiasi. Maka satu-satunya alasan yang tersisa untuk menyimpan senjata nuklir adalah untuk menghancurkan asteroid yang mengancam Bumi. Penggunaan selain itu sudah sepatutnya dilarang, nonproliferasi harus ditegakkan.

Satu sudut pandang lagi yang dihasilkan dari rekonstruksi ini adalah: Amerika Serikat telah melakukan kejahatan perang. Pengeboman yang membabi buta telah menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit dari pihak penduduk. Pengaruh setelah ledakan bom atom pun masih menghantui Hiroshima dan Nagasaki hingga sekarang. Kejahatan perang itu selama ini dibenarkan akibat perspektif sejarah yang lama, yaitu bahwa serangan nuklir ke Hiroshima dan Nagasaki telah menghentikan perang. Rekonstruksi memang telah mengubah perspektif kita, akan tetapi ada satu hal yang tidak berubah. Kejahatan tersebut akan terus dibenarkan, kecuali jika di masa lalu akibat keajaiban Jepang berhasil memenangkan perang, memperoleh ganti rugi yang setimpal, dan mengadakan pengadilan ala Nuremberg terhadap dalang pengeboman di daratan Jepang, dari Harry Truman sampai orang-orang yang terlibat dalam Proyek Manhattan.

Catatan kaki


1 "Cahaya seterang seribu matahari" merupakan istilah yang digunakan oleh J.R. Oppenheimer (salah satu dalang lahirnya senjata nuklir) dalam gumamannya saat menyaksikan ledakan bom atom pertama. Gumaman itu sendiri dipetik dari Bhagawad Gita, “Andaikan ada cahaya seterang seribu matahari yang mampu memecahkan langit, cahaya itu mirip dengan kemuliaan Yang Mahakuasa.... Akulah kematian, penghancur dunia.”

2 Deterensi adalah penggunaan "kemampuan menghancurkan lawan" sebagai posisi tawar. Misalnya dalam perang dingin, penyimpanan senjata nuklir bertujuan untuk mengurungkan niat lawan karena daya hancurnya yang luar biasa.

Sumber: http://tumblr.com/xwm45ljmt0


.
Read More

Thursday, August 11, 2011

Free Download Driver




Free Download Driver
download driver computer and laptop


  1. DriversCollection.com

  2. Mbotengaptek.com - Free Download Driver

  3. Dodownload.net - Driver

  4. Devid.Info




.
Read More

Thursday, June 23, 2011

Ayo Tipu Otak Kita!

Tanpa banyak cingcong lagi, coba perhatikan gambar di bawah ini:



Apa yang anda lihat? Ya, sebuah gambar dengan latar belakang berwarna abu-abu, dikelilingi bulatan berwarna pink yg mati secara bergantian satu per satu searah jarum jam.

Coba pusatkan mata anda di tanda + di tengah gambar.. Anda bakal ngeliat buletan pink yg mati tadi digantikan oleh bulatan ijo, padahal aslinya ga ada tuh buletan ijo yg muter kalo mata kita ga dipusatkan ke tanda +

Sekarang coba benar-benar pusatkan konsentrasi anda di tanda + .. Benar-benar pusatkan konsentasi anda, jangan perhatikan hal lain selain tanda + .. Apa yang terjadi?

Buletan pink menghilang!


Ya, buletan pink menghilang dan hanya menyisakan buletan ijo berputar mengelilingi tanda + .. Tapi sebentar aja konsentrasi agan buyar, buletan pink bakal balik lagi

Kalo anda berhasil, anda berarti udah sukses menipu otak anda dalam menginterpretasikan warna. Sekarang bilang ke otak anda: Kena deh!
Read More

Thursday, May 12, 2011

Sejarah nama INDONESIA

Sebelum kedatangan bangsa Eropa
PADA zaman purba kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama.

Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai *Nan-hai* (Kepulauan Laut Selatan).Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini *Dwipantara* Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta *dwipa* (pulau) dan *antara* (luar, seberang).

Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke *Suwarnadwipa* (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.

Bangsa Arab menyebut tanah air kita *Jaza’ir al-Jawi* (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah *benzoe*, berasal dari bahasa Arab *luban jawi*(kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon *Styrax sumatrana* yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra .

Sampai hari ini jemaah **** kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi , Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.


Masa kedatangan Bangsa Eropa
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia . Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab , Persia , India , dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (*Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien*) atau “Hindia Timur” *(Oost
Indie, East Indies , Indes Orientales)* . Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (*Maleische Archipel, Malay Archipelago , l’Archipel Malais*).

Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah *Nederlandsch- Indie* (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah *To-Indo* (Hindia Timur).



Berbagai Usulan Nama
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde*, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin *insula* berarti pulau).

Eduard Douwes Dekker

Tetapi rupanya nama *Insulinde* ini kurang populer. Bagi orang Bandung , *Insulinde* mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.

Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “ India ”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya.

Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 Lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.

Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari *Jawadwipa*( Pulau Jawa).

Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, *”Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” *(Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis.

Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern.

Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia . Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.



Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, *Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia * (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865),menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.

James Richardson Logan

Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel *On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations*. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (*a distinctive name*), sebab nama Hindia Tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: *Indunesia*atau *Malayunesia* (*nesos* dalam bahasa Yunani berarti Pulau).

Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: *… the inhabitants of the Indian Archipelago or malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.*

Earl sendiri menyatakan memilih nama *Malayunesia* (Kepulauan Melayu) daripada *Indunesia* (Kepulauan Hindia), sebab *Malayunesia* sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan *Indunesia* bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah *Malayunesia* dan tidak memakai istilah *Indunesia*. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel *The Ethnology of the Indian Archipelago. * Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanahair kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan.

Logan memungut nama *Indunesia* yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan : *Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia , which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. * Ketika mengusulkan nama “ Indonesia ” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “ Indonesia ” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku *Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel* sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880.

Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam *Encyclopedie van Nederlandsch-Indie*tahun 1918.
Padahal Bastian mengambil istilah “ Indonesia ” itu dari tulisan-tulisan Logan. Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “ Indonesia ” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama *Indonesische Pers-bureau. *



Masa Kebangkitan Nasional
Makna politis

Pada dasawarsa 1920-an, nama “ Indonesia ” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “ Indonesia ” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa *Handels Hoogeschool* (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam , organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama *Indische Vereeniging* ) berubah nama menjadi *Indonesische Vereeniging* atau Perhimpoenan Indonesia . Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.

Bung Hatta

Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (*de toekomstige vrije Indonesische staat*) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli.

Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (*een politiek doel*), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (*Indonesier*) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. “ Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan *Indonesische Studie Club*pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 *Jong Islamieten Bond* membentuk kepanduan *Nationaal Indonesische Padvinderij* (Natipij).

Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “ Indonesia ”. Akhirnya nama “ Indonesia ” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota *Volksraad* (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardji Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”.

Kongres Pemuda


Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah. Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.


Sumber
.
Read More